Pandakan
berasal dari kata paundak-undakan merupakan daerah yang bertebing,
merupakan daerah yang terkenal sejak dahulu sebagaimana dipetik dari
Terjemahan K.J. Padmapuspita (Jogjakarta, Taman Siswa, 1966) hal 70-79.
Sebagai berikut, ...Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki-laki,
bernama Sri Kertanegara; Mahisa-Cempaka meninggalkan seorang anak
laki-laki juga, bernama Raden Wijaya. Kertenegara menjadi raja, bernama
Batara Siwabudha. Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di
Nangka (Nangkajajar), bernama Banyak-Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja,
rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan, disuruh menjadi adipati di
Sungeneb, bertempat-tinggal di Madura sebelah timur. Ada patihnya, pada
waktu ia baru saja naik ke atas tahta kerajaan, bernama Empu Raganata
ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan raja, ia tidak dihiraukan
oleh Sri Kertanegara;
karenanya itu Mpu
Raganata meletakkan jabatan tidak lagi menjadi patih, diganti oleh Kebo
Tengah sang A Panji Aragani. Mpu Raganata lalu menjadi adyaksa di
Tumapel. Sri Kertanegara pada waktu memerintah, melenyapkan seorang
kelana (musafir) bernama Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi
perintah kepada hamba rakyatnya, untuk pergi menyerang Melayu. Apanji
Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali, datangnya di Tumapel
sang A Panji Aragani mempersembahkan makanan berhari-hari; raja
Kertanegara bersenang-senang. Ada perselisihan dengan raja Jayakatong,
raja di Daha; ini menjadi musuh raja Kertanegara; karena lengah terhadap
usaha musuh yang sedang mencari kesempatan dan waktu tepat, ia tidak
memikir kesalahannya. Banyak Wide berumur empat puluh tahun pada
peristiwa penyerangan Melayu itu; ia berteman dengan raja Jayakatong;
Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura mengadakan
hubungan dan berkirim utusan. Demikian juga raja Jayakatong berkirim
utusan ke Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jayakatong, bunyi
surat; "Tuanku, patih baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka
raja bermaksud berburu ditanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja
sekarang pergi berburu, karena ini adalah kesempatan yang baik sekali,
tak ada bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya;
ada harimau, tetapi tak bergigi". Patih tua Raganata itu yang dinamakan
harimau tidak bergigi, karena sudah tua. Sekarang raja Jayakatong
berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah utara
Tumapel terdiri dari orang-orang yang tidak baik, bendera dan
bunyi-bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara Tumapel, mereka yang
melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang melalui jalan
utara itu berhenti di Memeling. Batara Siwa-Buda senantiasa
minum-minuman keras diberitahu, bahwa diserang dari Daha, ia tidak
percaya, selalu mengucapkan kata: "Bagaimana dapat raja Jayakatong
demikian terhadap kami, bukankah ia telah baik dengan kami" Setelah
orang membawa yang menderita luka, barulah ia percaya. Sekarang Raden
Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang datang dari sebelah
utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka:Banyakkapuk,
Ranggalawe, Pedang, Sora, Dangdi, Gadjahpagon, anak Wiraraja yang
bernama Nambi, Peteng dan Wirot, semua itu prajurit baik, melawan
tentara Daha di bagian utara, serentak mengamuk, bersama-sama, terpaksa
larilah orang-orang Daha yang melalui utara itu, dikejar dan diburu oleh
Raden Wijaya. Kemudian turunlah tentara besar dari Daha yang datang
dari tepi Sungai Aksa, menuju ke Lawor; mereka ini tak diperbolehkan
membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi bunyi-bunyian,
sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari. Yang menjadi
prajurit utama dari tentara Daha sebelah selatan ini, ialah: Patih Daha
Kebomundarang, Pudot, dan Bowong. Ketika Batara Siwa-Buda sedang
minum-minuman keras bersama-sama dengan patih, maka pada waktu itu ia
dikalahkan, semua gugur; Kebotengah yang melakukan pembalasan, meninggal
di Manguntur. Raden Wijaya yang diceriterakan ke utara tersebut,
diberitahu bahwa Batara Siwa-Budha wafat karena tentara Daha turun dari
selatan, patih tua juga telah gugur, semua mengikuti jejak batara.
Segera Raden Wijaya kembali, beserta hamba-hambanya, berlari-lari ke
Tumapel, melakukan pembalasan, tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar
diburu oleh Kebomundarang; Raden Wijaya naik ke atas, mengungsi di sawah
miring, maksud Kebo-mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden
Wijaya menyepak tanah bekas ditenggala, dada Kebomundarang sampai
mukanya penuh lumpur, ia mundur, sambil berkata; "Aduh, memang sungguh
dewalah tuanku ini." Sekarang Raden Wijaya membagi-bagi cawat dari kain
ikat berwarna merah, diberikan kepada hamba-hambanya, masing-masing
orang mendapat sehelai, ia bertekad untuk mengamuk. Yang mendapat bagian
ialah Sora, Ranggalawe, Pedang, Dangdi, dan Gadjah. Sora segera
menyerang, banyak orang Daha yang mati. Kata Sora: "Sekarang ini, tuan,
hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan saatnya. " Raden
Wijaya lekas-lekas menyerang, semakin banyak orang Daha yang mati,
mereka lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu. Pada waktu sunyi
orang telah tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden Wijaya, sekarang
orang-orang Daha bubar, banyak yang tertusuk oleh tombak temannya
sendiri, repotlah orang-orang Daha itu larinya. Batara Siwa-Budha
mempunyai dua orang anak perempuan, mereka ini akan dikawinkan dengan
Raden Wijaya; demikianlah maksud Batara Siwa-Budha itu; kedua-duanya
ditawan oleh orang Daha; puteri yang muda berpisah dengan puteri yang
tua, tidak menjadi satu arah larinya, berhubung dengan kerepotan
orang-orang Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu. Pada waktu malam
tampak api unggun orang Daha bernyala dan besar nyalanya. Didapatilah
puteri yang tua disana, kelihatan oleh Raden Wijaya, yang segera
dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas-lekas diambil oleh
Raden Wijaya, lalu berkata; "Nah Sora, marilah mendesak mengamuk lagi,
agar dapat bertemu dengan puteri muda." Sora berkata: " Janganlah tuan,
bukankah adik tuan yang tua sudah tuan temukan, berapakah jumlah hamba
tuanku sekarang ini." Jawab Raden Wijaya." Justeru karena itu". Maka
Sora berkata lagi: "Lebih baik tuanku mundur saja, karena kalau memaksa
mengamuk, seandainya berhasil, itu baik; kalau adik tuanku yang mudah
dapat ditemukan, kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti
anai-anai menyentuh pelita. "Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan
didukung, semalam-malaman mereka berjalan ke utara, keesokan harinya
dikejar oleh orang Daha, terkejar disebelah selatan Talaga-pager (Ranu
Grati). Orang-orangnya ganti-berganti tinggal dibelakang, untuk
berperang menghentikan orang Daha. Gadjahpagon kena tombak tembus
pahanya, tetapi masih dapat berjalan. Kata Raden Wijaya: "Gadjahpagon,
masih dapatkah kamu berjalan kalau tidak dapat, mari kita bersama-sama
mengamuk. " Masih dapatlah hamba, tuanku, hanya saja hendaknya
perlahan-lahan. "Orang-orang Daha tidak begitu giat mengejarnya,
kamudian mereka kembali di Telaga-pager. Raden Wijaya masuk belukar
seperti ayam hutan, dan hamba-hambanya yang mengiring semua,
ganti-berganti mendukung puteri bangsawan. Akhirnya hamba-hambanya itu
bermusyawarah, membicarakan tentang keadaan Raden Wijaya. Setelah putus
pembicaraannya, semua bersama-sama berkata: "Tuanku, sembah hamba-hamba
tuanku semua ini, bagaimana akhir tuanku ayng masuk belukar dan keluar
belukar seperti ayam-hutan itu, pendapat hamba semua, lebih baik tuanku
pergi ke Madura Timur; hendaknyalah tuanku mengungsi kepada Wiraraja,
dengan pengharapan agar ia dapat dimintai bantuan, mustahil ia tidak
menaruh belas kasihan, bukankah ia dapat menjadi besar itu karena ayah
tuanku almarhum yang menjadi lantarannya." Kata Raden: "Itu baik, kalau
ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya akan sangat malu." Jawab
Sora, Ranggalawe dan Nambi, serentak dengan suara bersama: "Bagaimana
dapat Wiraraja melengos terhadap tuanku." Itulah sebabnya Raden Wijaya
menurut kata-kata hambanya. Mereka keluar dari dalam hutan, datang di
PANDAKAN, menuju ke orang tertua di pandakan, bernama Macan-kuping:
"Raden Wijaya minta diberi kelapa muda, setelah diberi, lalu diminum
airnya, ketiak dibelah, ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang
melihat itu. Kata orang: "Ajaib benar, memang belum pernah ada kelapa
muda berisi nasi". Gadjahpagon tidak dapat berjalan lagi, kata Raden
Wijaya: "Orang tertua di PANDAKAN, saya menitipkan satu rang;
Gadjahpagon ini tak dapat berjalan, hendaknya ia tinggal di tempatmu,"
Kata orang PANDAKAN: "Aduh, tuanku, itu akan tidak baik kalau sampai
terjadi Gadjahpagon didapati di sini, mustahil akan ada hamba yang
menyetujui di PANDAKAN, kehendak hamba, biarlah ia berada di dalam
pondok di hutan saja, di ladang tempat orang menyabit ilalang, di
tengah-tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah dangau, sunyi,
tak ada seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang akan
memberi makan tiap-tiap hari".